Rabu, 26 Juni 2013

Kemana Bahasa Daerah akan Pergi?

             Sebuah cerita dimana tahun 2013 akan kehilangan bahasa daerah sebagai mata pelajaran wajib di era kurikullum 2013. Perubahan ini terkait dengan hilangnya sebuah mata pelajaran wajib bahasa daerah di era kurikulum baru. Sekarang bahasa jawa dianggap tidak lagi menjadi mata pelajaran yang wajib untuk jenjang sekolah dan cenderung dikesampingkan.
            Perubahan konsep yang tak terduga di era baru dalam aspek bahasa, terutama bahasa daerah. Bahasa daerah bukanlah sebuah seni seperti halnya seni-seni yang lain, bahasa jawa atau bahasa daerah harus berjalan sesuai aturan yang berlaku. Selama era baru tidak menyentuh dasar kedua bahasa tersebut maka bahasa jawa terancam tersingkir dan musnah seperti halnya barang yang tak terpakai lagi. Hal itu juga akan berpengaruh terhadap nasib dari seorang pendidik itu sendiri, dimana dia akan berpijak dan kemana dia akan melangkah karena sistem keberadaan bahasa daerah yang tidak jelas.

Bahasa Bukkanlah Seni
Ada suatu hal yang sangat ganjil disini, dimana bahasa daerah dimasukan ke dalam seni. Langkah yang tidak pas ketika menjadikan bahasa daerah sebagai salah satu bagian dari seni. Kurangnya tinjauan pun mebuat suatu kebijakan yang mleset dari sasaran utama. Hal tersebut menuai banyak kontroversi di kalangan masyarakat terutama pelajar.
Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) mengutarakan sebuah  pernyataan yang telah ia buat dalam sosialisasi Kurikulum 2013 di daerah-daerah. “Bahwa Mata Pelajaran Bahasa Daerah tidak dihilangkan atau dihapuskan tetapi disisipkan dengan Mata Pelajaran Seni Budaya & Prakarya yang pelaksanaannya diserahkan pada kewenangan daerah masing-masing yang kedudukannya sejajar dengan mata pelajaran lain. Karena di dalam acuan Kurikulum 2013 merujuk pada tiga fenomena; fenoma alam, fenomena sosial, dan fenomena budaya. Hal ini diartikan bahwa Bahasa Daerah termasuk kajian dari Fenomena Budaya”. Mendikbud secara tidak langsung mengatakan bahwa mata pelajaran bahasa dearah telah di masukan ke dalam seni. Akan timbul perbedaan tafsiran di lapangan (Sekolah selaku pelaksana Kurikulum) jika tersirat bahwa mata pelajaran Bahasa Daerah dapat disatukan dengan matapelajaran Seni Budaya.
Kajian yang berbeda diantara bahasa dan seni. Bahasa merupakan suatu penghubung komunikasi antara seseorang dengan seseorang ataupun sekelompak orang yang menimbulkan suatu interaksi antara orang-orang tersebut. Sedangkan seni merupakan wujud dari kreativitas yang tercipta dari suatu imajinasi atau gambaran seseorang dengan menggunakan sebuah dalam proses penciptaannya. Jika dipadukan antara keduanya apakah bisa bahasa menjadi seni? Jelas bahwa bahasa tidak dapat dijadikan sebagai seni karena bahasa mempunyai arti yang tidak bersangkutan dengan seni. Ketika bahasa daerah dijadikan satu dengan seni maka pembelajaran yang terjadi akan susah menuai kelancaran dan ketidak jelasan baik dalam menyampaikan dan menerapkan karena perbedaan diantara keduanya.
Jika asumsinya demikian, maka bahasa daerah akan terancam hilang dan musnah karena ketidak jelasan statusnya dalam era penidikan yang baru dan hendaknya dalam rancangan Struktur Kurikulum 2013 tidak tertulis secara eksplisit Mata Pelajaran “Seni Budaya”, tetapi Mata Pelajaran “Budaya”. Karena bahasa merupakan bagian dari budaya suatu daerah sebagai identitas dari daerah itu sendiri dan pada hakekatnya Bahasa dan Seni Daerah adalah bagian dari Budaya yang kedudukannya sejajar.

Aturan dasar bahasa
Munculnya steatment dari salah satu Tim Pengembang Kurikulum yang menyatakan “Bahwa penghilangan Mata Pelajaran Bahasa Daerah dalam kurikulum 2013 merupakan hal yang wajar dikarenakan keheterogenan masyarakat saat ini”. Hal ini jelas membuat reaksi yang sangat keras dari berbagai kalangan masyarakat serta dianggap sangat bertentangan dan melanggar konstitusi yang ada, diantaranya Pada tataran dunia dalam hal ini UNESCO telah mengeluarkan Rekomendasi pada tahun 1999 mengenai “Pemeliharaan Bahasa Ibu Sedunia (hingga ditetapkanya, 21 Februari sebagai “Mother days leanguage”)”. Dengan kata lain disamping kita memelihara bahasa ibu kita juga harus tetap memelihara atau mempertahankan bahasa anak dan juga cucu karena bahasa itu satu rumpun kajian yang tidak tercampur dengan kajian yang lain seperti ilmu alam dan social. Akan tetapi bahasa sangatlah perlu bagi ilmu yang lain karena bahasa adalah salah satu cara mereka berkomunikasi dan berinteraksi.
Pada Tataran Nasional, telah menabrak pasal 32 UUD 1945 ayat 1 yang berbunyi “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan  menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan  nilai-nilai budayanya”. Dan juga pasal 32 UUD 1945 ayat 2 yang berbunyi “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”. Di dalam Bab XV Bendera dan Bahasa UUD 1945 pasal 36 juga dituliskan bahwa “Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan sebagainya) bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup”. Dari uraian ayat-ayat pasal 32 dan pasal 36 UUD 1945 menanadakan bahwa kita dituntut untuk menghormati dan memelihara bahasa daerah serta mengembangkan nilai-nilai budaya bahasa daerah. Konstitusi yang lain juga terdapat dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang berbunyi “Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan Bahasa Indonesia”. Jelas, dalam ayat yang spesial ini para pendahulu kita begitu mengakui adanya bahasa ibu (bahasa daerah) yang terdapat pada Nusantara ini yang perlu kita pelihara dan kita junjung.
Selain itu Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)  Nomor 20 tahun 2003 pasal 37 ayat 1 "UU Sisdiknas menyebutkan kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib di antaranya memuat mapel Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial”.
Sementara yang terjadi sekarang ini adalah penghapusan mata pelajaran wajib contohnya penghapusan mata pelajaran wajib bahasa daerah. Kebijakan itu sama halnya dengan mereka tidak menghargai dan menghormati bahasa daerah padahal bahasa daerah merupakan muatan lokal wajib yang harus dilaksanakan oleh tiap satuan pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah. Seharusnya setiap kebijakan didasarkan pada aturan-aturan yang berlaku, termasuk dalam pembuatan kurikulum karena kurikulum merupakan jembatan menuju tercapainya mutu pendidikan yang melahirkan sumber daya manusia bangsa. Oleh karena itu, pembuatan kurikulum terutama mengenai mata pelajaran bahasa daerah tetap dijalankan sesuai aturan-aturan yang berlaku sehingga pembelajaran dapat berjalan seperti seharusnya dan penghormatan serta penghargaan terhadap budaya tetap ada.

Nasib Pendidik
Kurikulum 2013 mengakibatkan banyak perubahan dan sejumlah guru bahasa daerah akan mempertanyakan nasib mereka saat Kurikulum 2013 diterapkan karena dalam kurikulum itu tidak secara tegas dinyatakan ada bahasa daerah. Penerapan bahasa daerah dalam kurikulum 2013 yang digabung dengan seni budaya berdampak buruk bagi sarjana bahasa daerah dan mahasiswa bahasa daerah dan juga sarjana seni. Penggabungan mata pelajaran menuai penggantungan nasib guru pendidik mata pelajaran itu sendiri.
Baik guru yang bersertifikasi maupun belum kemana mereka akan pergi? Sebelum pemberlakuan kurikulum 2013 saja banyak guru bersertifikasi yang kekurangan jam pada satuan kerjanya. Mereka harus bersaing dengan guru lain untuk mencari kekurangan jam sehingga menjadi 24 jam. Selain harus mencari ke sekolah lain, beberapa sekolah mempunyai trik lain misal yang semula dalam satu kelas jumlah siswanya empat puluhan kemudian disebarkan sehingga dalam satu kelas hanya tiga puluhan siswa. Misal semula dalam satu tingkatan ada 5 kelas menjadi 6 kelas. Ini untuk mengakali supaya guru-guru yang bersertifikasi bisa mengantongi 24 jam dalam seminggu.
Selain itu, bagaimana nasib dari guru seni? Mereka hanya mendalami materi seni dan ketika kurikulum 2013 diterapkan maka guru seni dituntut untuk mendalami materi bahasa daerah. Alhasil apa yang akan terjadi ketika guru seni mengajar bahasa daerah? Tentu materi bahasa daerah yang disampaikan oleh guru seni tidak selancar dan sejelas yang disampaikan guru bahasa daerah karena bahasa daerah tidak semudah kelihatannya. Sebagai contoh misalnya bahasa jawa,  Bahasa Jawa tidak hanya diajarkan cara berbahasa, tetapi juga membaca, menulis sastra, serta mendengarkan, seperti mendengarkan wayang. Siswa juga diajari tradisi dan adat istiadat seperti pakaian tradisional Jawa. Materi-materi tersebut tidak mudah untuk dipelajari. Apalagi bagi seorang pemula yang semula tidak mengajar bahasa jawa dituntut harus bisa mengajar bahasa jawa, apa yang akan dilakukannya? Padahal butuh waktu yang lama untuk mendalami bahasa jawa dan jika kurikulum baru diterapkan, waktunya tinggal sebentar lagi.
Selain itu, dengan ditiadakannya pelajaran Bahasa Daerah misalnya Bahasa Jawa, guru-guru Bahasa Jawa akan kehilangan jam pelajaran. Padahal, sejak diberlakukannya keputusan tiga gubernur (Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta) pada 2006 untuk menjadikan Bahasa Jawa sebagai muatan lokal pada jenjang SD hingga SMA, mata kuliah bahasa Jawa banyak diserbu mahasiswa.
Seni budaya dan prakarya diberi waktu 4jam selama satu minggu. Agar guru bahasa daerah dapat mengajar kembali kembali munkin salah satu cara adalah guru bahasa daerah berbagi materi dengan guru seni. Dengan itu materi seni dan bahasa daerah dapat disampaikan secara jelas. Alangkah lebih baik lagi apabila antara seni dan bahasa dipisahkan menjadi mata pelajaran tersendiri sehingga materi yang disampaikan jelas dan dapat dipahami murid serta mempunyai jam pelajaran yang jelas dan tidak terbagi-bagi dengan mata pelajaran lain. Selain itu para guru tidak lagi akan kehilangan lapangan pekerjaan dan dapat melanjutkan pekerjaannya.
Sebuah pikulan berat bagi guru yang kehilangan mata pelajarannya bahkan lapangan pekerjaannya apabila kurikukum 2013 diterapkan. Pembaruan kurikulum memanglah merupakan salah satu cara mengantisipasi perubahan zaman ini. Akan tetapi, perubahan kurikulum tidak akan efektif ketika mata pelajaran wajib harus digabung-gabung dengan mata pelajaran wajib yang lainnya seperti halnya bahasa daerah digabung densgan seni dan sebagainya sehigga membuat materi itu sendiri tidak utuh.
Apapun kebijakan pemerintah dalam pendidikan seharusnya tidak merugikan murid dan guru. Bagaimanapun guru adalah pahlawan yang sudah mengabdikan dirinya untuk kemajuan bangsa ini. Tanpa adanya guru mustahil bangsa ini bisa maju. Di tangan gurulah para pemimpin bangsa ini dididik. Seharusnya kurikulum memberikan putusan yang terbaik mengenai pendidikan baik untuk pendidik dan juga yang dididik. semestinya ada solusi yang terbaik bagi guru-guru yang mata pelajarannya dihapus dan jamnya dikurangi. Jangan sampai pemerintah membuat kebijakan “lempar batu sembunyi tangan”

by AAsrtara